Kebijakan Permenkes 47/2018 Jadi Tantangan Biaya Operasional Rumah Sakit, Ketua DPRD Kota Cirebon Cari Jalan Keluar -->

Kebijakan Permenkes 47/2018 Jadi Tantangan Biaya Operasional Rumah Sakit, Ketua DPRD Kota Cirebon Cari Jalan Keluar

Fokus Kabar
Friday, April 18, 2025, April 18, 2025 WIB Last Updated 2025-04-24T23:30:13Z
stnting

masukkan script iklan disini

Fokus Kabar (Kota Cirebon) -
Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 47 Tahun 2018 tentang lima kriteria pelayanan kegawatdaruratan yang dijamin Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menjadi tantangan tersendiri bagi rumah sakit, khususnya milik pemerintah daerah.

Ketua DPRD Kota Cirebon, Andrie Sulistio SE, menilai aturan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat serta berdampak pada pembiayaan operasional rumah sakit. Pasalnya, tidak semua kondisi kegawatdaruratan dapat dibiayai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Salah satu contoh, pasien dengan suhu tubuh di bawah 39 derajat celcius tidak termasuk kategori kegawatdaruratan. Maka, tidak akan dilayani di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau dianggap tidak memerlukan rawat inap,” jelas Andrie usai berdiskusi dengan jajaran direksi RSD Gunung Jati, Selasa (15/4/2025).

Meski begitu, ia mengapresiasi kebijakan Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati yang tetap memberikan pelayanan kepada pasien tanpa diskriminasi. “Alhamdulillah, RSD Gunung Jati tidak pernah menolak pasien, baik peserta mandiri maupun Penerima Bantuan Iuran (PBI),” ujarnya.

Sebagai bentuk respons terhadap kebijakan tersebut, RSD Gunung Jati saat ini tetap melayani pasien dari luar daerah. Namun, pelayanan penuh hanya diberikan kepada warga Kota Cirebon yang sudah tercakup dalam program Universal Health Coverage (UHC), di mana seluruh warganya terdaftar sebagai peserta PBI BPJS yang dananya dialokasikan dari APBD Kota Cirebon.

“Pasien dari luar daerah tetap kami layani apabila memenuhi kriteria kegawatdaruratan. Tetapi jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka akan diperlakukan sebagai pasien umum,” tegasnya.



Kasus False Emergency Jadi Persoalan

Andrie menambahkan, rumah sakit pemerintah tetap memiliki kewajiban utama untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun, masalah muncul ketika pasien tidak termasuk PBI dan tidak memiliki kemampuan membayar biaya pengobatan.

“Dari hasil diskusi dengan manajemen RSD Gunung Jati, terdapat kasus pasien luar daerah yang tergolong false emergency namun tetap dilayani, sehingga tidak bisa ditagihkan ke BPJS. Nilainya bisa mencapai Rp140 juta per bulan. Jika terus terjadi, dalam setahun bisa membengkak hingga Rp1,7 miliar,” ungkapnya.

Menurutnya, kondisi tersebut berpotensi membebani keuangan rumah sakit dan berdampak pada APBD Kota Cirebon. Oleh karena itu, ia berharap ada peran lebih dari pemerintah provinsi.

“Permasalahan ini membutuhkan perhatian dari pemerintah provinsi. Kami berharap ada solusi jangka panjang yang lebih solutif. Dalam waktu dekat, saya berencana berkonsultasi ke Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, bahkan jika memungkinkan, berdiskusi langsung dengan Pak Gubernur,” tutup Andrie.

Direktur RSD Gunung Jati, dr Katibi MKM menegaskan, pentingnya memahami kriteria pelayanan gawat darurat yang dijamin JKN. Hal ini merespons banyaknya pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam kondisi yang sebenarnya tidak masuk kategori kegawatdaruratan atau disebut false emergency.

Mengacu pada Permenkes Nomor 47 Tahun 2018, terdapat lima kriteria pelayanan kegawatdaruratan yang dijamin JKN. Kelima kriteria tersebut antara lain; Kondisi yang mengancam nyawa, membahayakan diri sendiri orang lain atau lingkungan, gangguan pada jalan napas pernapasan atau sirkulasi darah, penurunan kesadaran serta gangguan hemodinamik seperti masalah pada darah jantung atau pembuluh darah, serta kondisi yang memerlukan tindakan medis segera.

“Pasien yang datang ke IGD tanpa memenuhi kriteria tersebut tidak masuk dalam kategori gawat darurat, sehingga tidak dijamin oleh BPJS. Namun, sering kali pasien tetap menghendaki layanan darurat meski tidak sesuai regulasi,” ujarnya.

Meskipun Permenkes tersebut telah berlaku sejak 2018, skema pembiayaan melalui BPJS baru diadopsi pada Desember 2024 melalui kesepakatan dengan pihak terkait. Dalam praktiknya, rumah sakit masih menghadapi tantangan dalam hal pembiayaan, termasuk piutang dari pemerintah daerah.

“Piutang rumah sakit kepada pemerintah, terutama di luar wilayah Kota Cirebon, sudah berlangsung lama. Ada yang sudah dibayar sebagian, tapi ada juga yang belum sama sekali,” tambahnya.

Pihak rumah sakit berupaya menagih piutang kepada pasien dan kelauarganya. Atas arahan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengarahkan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah pasien untuk segera melunasi utangnya kepada rumah sakit.

Selain itu, Katibi menyoroti kondisi masyarakat luar Kota Cirebon yang belum seluruhnya menjadi peserta BPJS. Ketika masyarakat yang tidak terdaftar mengalami sakit dan tidak memiliki dana cukup, maka saat pulang mereka belum bisa melunasi biaya pengobatan. Hal ini menambah beban piutang rumah sakit yang terus terakumulasi.

“Prinsip kami adalah memberikan pelayanan medis sesuai kebutuhan pasien. Namun, kami juga berupaya meminimalkan piutang dengan tetap mengupayakan pembayaran baik melalui BPJS maupun dari pasien dan keluarganya,” pungkasnya. 

(herwin)
Komentar

Tampilkan

Terkini