Stafsus, Panggung, dan Pertanyaan Publik untuk Bupati Indramayu -->

Stafsus, Panggung, dan Pertanyaan Publik untuk Bupati Indramayu

Fokus Kabar
Friday, September 26, 2025 Last Updated 2025-09-26T07:28:58Z

Ada satu hal yang tak pernah gagal memancing perhatian publik: ketika seorang kepala daerah mengambil keputusan yang dianggap tidak masuk akal.

Begitulah yang kini tengah mengguncang jagat maya dan ruang-ruang diskusi di warung kopi hingga balai desa. Keputusan Bupati Indramayu dari Partai NasDem, Lucky Hakim, yang mengumumkan pengangkatan tenaga ahli dari unsur masyarakat sipil, justru menuai badai kontroversi.

Publik menyoal. Media sosial mendidih. Tagar-tagar nyinyir berseliweran. Pertanyaan-pertanyaan sinis bermunculan. "Apakah ini hanya panggung politik baru?" "Apakah ini akan menguras APBD?" Atau lebih getir lagi: "Apakah ini cara baru membagi-bagi proyek pemerintah?"

Dalam politik lokal, langkah kecil bisa berubah jadi gelombang besar. Sebuah pengumuman yang seharusnya memberi kepercayaan publik, justru menimbulkan kecurigaan.

Siapakah Salman?

Nama yang paling sering disebut dalam riuh polemik ini adalah Salman.
Ya, Salman, sosok yang tiba-tiba mendadak populer, bukan karena prestasi, tapi karena jabatan staf khusus yang disematkan langsung oleh Bupati.
Pertanyaan sederhana tapi tak kunjung terjawab: Siapa sebenarnya Salman?
Apakah ia seorang pakar pembangunan? Seorang ahli tata kelola pemerintahan? Atau sekadar orang dekat yang sedang diberi panggung politik?

Kegaduhan ini bukan sekadar soal nama, melainkan soal simbol. Karena ketika publik bertanya "Siapakah Salman?", yang sesungguhnya ditanyakan adalah: "Apakah pengangkatan ini benar-benar demi kepentingan rakyat, atau hanya demi kepentingan segelintir orang?"

Ketika Politik Bertemu Media Sosial

Kontroversi ini tak berhenti di ruang formal. Ia menjalar, meluas, menjadi konsumsi media sosial. Dari TikTok hingga grup WhatsApp, perdebatan seputar Salman jadi bahan gosip harian. Bahkan seorang politikus, Bambang Hermanto, dengan lantang mengunggah penolakannya di TikTok. Ia mengajak relawan Lucky Hakim untuk menggeruduk pendopo.

Apa artinya? Ada yang lebih dalam dari sekadar penolakan. Ada aroma perpecahan. Ada tanda-tanda bahwa kepercayaan yang dulu diberikan kepada bupati mulai rapuh. Pertanyaannya: Apakah ini sinyal awal bahwa Lucky Hakim akan ditinggal oleh pengikutnya sendiri? Atau jangan-jangan ini hanya ekspresi emosi sesaat dari seorang politisi yang sedang mencari panggung lain?

Inilah uniknya politik lokal di era digital. Satu unggahan bisa lebih berisik daripada rapat resmi. Satu video TikTok bisa lebih mempengaruhi opini publik dibanding pidato panjang kepala daerah.

Panggung Bernama Stafsus

Sejak awal, keberadaan staf khusus di daerah memang sering dipersoalkan. Bukan sekali dua kali, publik menudingnya hanya jadi "kursi kehormatan" bagi kerabat atau loyalis politik. Bukan tempat kerja, melainkan panggung.
Panggung yang dibangun dengan biaya rakyat.

Pertanyaannya kini mengarah langsung ke Bupati Indramayu: Apakah pengangkatan Salman bagian dari panggung itu? Atau ada argumen rasional yang bisa meyakinkan publik bahwa keputusan ini murni untuk percepatan pembangunan?

Sayangnya, hingga hari ini, penjelasan itu tak terdengar jelas. Yang terdengar justru adalah peringatan dari Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Prof. Zudan Arif Fakrulloh.
Pesannya lugas: kepala daerah harus bijak. Jangan mengakomodir kepentingan pribadi atau kelompok. Jangan buang anggaran untuk sesuatu yang tak berdampak langsung bagi rakyat.

Pesan ini bukan peringatan kosong. Ia seperti teguran halus sekaligus tamparan keras. Dan wajar bila publik bertanya: Apakah bupati kita tidak membaca peringatan itu? Ataukah waktu luangnya memang lebih banyak dihabiskan untuk siaran langsung di TikTok ketimbang menelaah regulasi dan peringatan resmi?.

Menguji Kepercayaan Publik

Polemik stafsus ini bukan sekadar soal nama Salman atau keputusan Lucky Hakim. Ini tentang kepercayaan publik. Tentang bagaimana rakyat menilai serius atau tidaknya seorang kepala daerah menjalankan amanah.
Karena pada akhirnya, rakyat menuntut transparansi.

Rakyat ingin tahu:
• Berapa anggaran yang dipakai untuk stafsus?
• Apa kontribusi nyata yang dijanjikan?
• Bagaimana mekanisme seleksinya?

Semua pertanyaan itu bukan basa-basi. Ia adalah syarat minimal bagi seorang kepala daerah untuk menjaga kredibilitas.

Ketika Kebijakan Jadi Blunder

Keputusan politik selalu punya risiko. Tapi risiko terbesar muncul ketika keputusan itu dianggap blunder. Dalam kasus ini, kontroversi Salman sudah cukup menjadi bukti bahwa langkah bupati tidak disiapkan dengan matang. Tidak dikomunikasikan dengan jelas. Tidak dijelaskan dengan transparan.

Apa jadinya bila keputusan yang seharusnya memperkuat kinerja pemerintahan justru menambah jarak antara bupati dan rakyatnya? Apa jadinya bila stafsus yang diharapkan jadi jembatan, justru menjadi tembok yang mempertebal kecurigaan publik?

Di sinilah letak persoalan paling serius: bukan hanya soal siapa yang diangkat, tapi soal bagaimana keputusan itu diambil dan dikomunikasikan.

Belajar dari Kontroversi

Kita tahu, setiap kepala daerah punya hak untuk mengangkat staf ahli. Tapi hak itu bukan cek kosong. Ia harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya kepada aturan hukum, tapi juga kepada hati nurani rakyat.

Kontroversi Salman memberi pelajaran penting: komunikasi politik yang buruk bisa meruntuhkan legitimasi. Transparansi yang minim bisa memunculkan kecurigaan. Dan keputusan yang terkesan seremonial bisa berubah menjadi bumerang.

Pertanyaan terbesar kini adalah: apakah Bupati Lucky Hakim mau belajar dari kontroversi ini? Atau ia akan terus berjalan dengan gaya lama: lebih sering tampil di layar ponsel, tapi absen dalam menjawab persoalan nyata?

Penutup: Pertanyaan yang Tersisa

Editorial ini tidak bermaksud menghakimi, tapi mengingatkan. Bahwa jabatan bupati bukan panggung pribadi, melainkan amanah publik. Bahwa setiap kursi stafsus bukan tempat duduk kosong, melainkan beban anggaran rakyat. Bahwa setiap keputusan politik adalah janji yang kelak akan ditagih oleh sejarah.

Maka mari kita ajukan kembali pertanyaan-pertanyaan yang menggantung:

• Siapakah sebenarnya Salman?
• Untuk apa jabatan stafsus itu diberikan?
• Apakah kebijakan ini demi rakyat, atau demi segelintir orang?
•Apakah bupati masih mendengar suara rakyat, atau sudah lebih sibuk mendengar tepuk tangan di layar media sosial?

Publik berhak tahu. Publik berhak bertanya. Publik berhak menuntut jawaban. Karena demokrasi tidak lahir dari diam, melainkan dari keberanian untuk bersuara.

Dan hari ini, suara itu sedang bergema dari Indramayu.


Oleh : Tri Karsohadi 
Komentar

Tampilkan

Terkini