Fokus Kabar (Kabupaten Cirebon) - Dunia pendidikan kembali tercoreng. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Beber, Kabupaten Cirebon, menuai sorotan tajam dari masyarakat setelah kebijakan penahanan rapor siswa berprestasi ini terjadi. Tindakan tersebut membuat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah unggulan itu mengalami penurunan dan hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sejumlah orang tua mengungkapkan rasa kecewa dan marah karena salah satu anak berprestasi mereka ditahan rapornya hanya gara-gara lantaran harus ganti rugi uang 375 ribu lantaran siswa berpestasi itu diangakap telah menghilangakan buku perpustakan. Itu juga orang tuanya sudah mengganti 200 ribu namun rapor itu masih ditahan karena masih ada kekurang 175 ribu
Saya tau orang tuanya sudah membayar ganti rugi 200 ribu, tapi tetap tidak diberikan rapor. Apakah pantas sekolah negeri seperti ini memperlakukan siswa seperti itu?” ujar salah satu wali murid dengan nada kesal.
Kebijakan ini menimbulkan gelombang kritik, terutama karena terjadi di sekolah negeri yang seharusnya mengedepankan azas keadilan dan keberpihakan terhadap hak siswa. Banyak pihak menilai bahwa rapor adalah hak siswa, bukan alat untuk memaksa pembayaran dari orang tua.
Pengamatan pendidikan di Kabupaten Cirebon, menyayangkan tindakan tersebut. “Sekolah seharusnya mencari jalan tengah, bukan malah menghukum siswa atas kesulitan ekonomi orang tuanya. Ini mencoreng dunia pendidikan dan bisa merusak kepercayaan publik terhadap sekolah.” Tegasnya
Di media sosial dan forum-forum komunitas, nama SMPN 1 Beber kini menjadi perbincangan hangat. Tak sedikit masyarakat yang mengungkapkan kekecewaannya, bahkan menyatakan tidak akan lagi menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut jika budaya semacam ini terus dipertahankan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak SMPN 1 Beber belum memberikan pernyataan resmi. Namun beberapa guru secara pribadi menyatakan bahwa mereka merasa serba salah dengan kebijakan tersebut, yang diduga merupakan arahan dari pihak manajemen sekolah.
Kejadian ini menjadi peringatan keras bagi institusi pendidikan agar tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Di tengah upaya membangun pendidikan yang inklusif dan berkeadilan, kebijakan seperti ini justru menjadi kemunduran yang patut dievaluasi.
( Prayoga )