Belum reda kontroversi pengangkatan Salman sebagai staf khusus, nama Lucky Hakim kembali jadi sorotan. Mantan Wakil Bupati Indramayu yang kini duduk sebagai Bupati itu diterpa tudingan miring yang semakin keras. Gelombang penolakan datang dari sebuah kelompok masyarakat yang menamakan diri Gerakan Rakyat Indramayu (GRI), dipelopori mantan anggota DPRD Kabupaten Indramayu, M. Solihin.
Seruan mereka tegas, lantang, dan tanpa basa-basi: “Pulangkan Lucky Hakim ke Cilacap.”
GRI bahkan menyerukan aksi demonstrasi besar-besaran pada 7 Oktober mendatang. Mereka mengajak petani, guru, aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum untuk turun ke jalan. Tuntutannya jelas: melawan koruptor, menolak pemimpin dzalim, serta mengusir penguasa yang dianggap hanya pandai berpura-pura baik namun gagal membawa perubahan nyata.
Panggung Pencitraan yang Mulai Retak
Dalam politik lokal, pencitraan seringkali menjadi panggung pertama yang ditonton rakyat. Wajah ramah, tutur kata manis, hingga narasi kepedulian kerap dijadikan modal utama. Lucky Hakim, dengan latar belakang selebritas, awalnya hadir membawa kesegaran. Sosok yang dianggap berbeda dari wajah-wajah lama politik Indramayu.
Namun kini, aroma kekecewaan makin tercium. GRI menuding birokrasi Indramayu dirusak, mental rakyat diracuni, dan demokrasi dibajak oleh mental transaksi serta korupsi.
Mereka menyebut Lucky Hakim hanya pandai pencitraan. Pertanyaannya: apakah tudingan ini murni suara rakyat, atau hanya kegaduhan politik yang dibungkus idealisme?
Gerakan Perlawanan: Spontan atau Terencana?
M. Solihin dengan lantang menyuarakan perlawanan. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu. Tapi mari kita bertanya: apakah gerakan ini murni panggilan nurani, atau bagian dari perhitungan politik jangka panjang?
Sejarah politik lokal di Indonesia menunjukkan, seringkali “gerakan rakyat” lahir bukan hanya dari kekecewaan publik, tapi juga dari pertarungan kepentingan di balik layar.
Jika benar rakyat Indramayu marah, kita patut bertanya: di mana suara kemarahan itu ketika pemimpin ini dipilih? Apakah rakyat terlalu mudah tergoda janji manis tanpa menimbang rekam jejak? Atau mungkin, kekecewaan ini muncul karena ekspektasi terlalu tinggi, sementara realitas politik selalu lebih rumit dari sekadar kata-kata kampanye?.
Indramayu kini sedang berkaca. Kita sering menyalahkan pemimpin sebagai biang kerok semua persoalan. Tapi bukankah pemimpin lahir dari suara rakyat? Bukankah kertas suara di bilik pemilu adalah tanda tangan kita bersama?
Jika rakyat memilih karena uang, karena janji kosong, atau sekadar karena popularitas, maka pemimpin yang lahir pun mencerminkan pilihan itu. Maka pertanyaannya: apakah benar masalah ada pada pemimpin, atau justru pada rakyat yang terlalu mudah silau?
Demokrasi bukan hanya soal memilih. Demokrasi adalah soal keberanian untuk mengawasi, mengkritisi, bahkan melawan ketika janji diingkari. Tapi demokrasi juga soal keberanian untuk bercermin: “Apakah kita, rakyat, sudah memilih dengan benar?”
Tudingan Proyek Mangkrak dan Mahar Politik
Nama Lucky Hakim pun tak lepas dari tudingan. Seorang orang dekatnya, Efendi, menyebut ada sekitar 26 proyek mangkrak yang terkait dengan Lucky semasa ia menjabat wakil bupati.
Efendi juga menuduh bahwa alasan Lucky mundur dari kursi wakil bupati bukan sekadar beda visi dengan bupati, melainkan karena transaksi finansial. Disebutkan ada Rp 2,5 miliar yang mengiringi pengunduran dirinya.
Benar atau tidak, tuduhan ini menambah daftar panjang pertanyaan publik. Jika benar ada mahar politik, bukankah itu menegaskan tudingan GRI soal mental transaksi? Jika tidak benar, mengapa suara sumbang ini datang dari orang dekatnya sendiri?
Pencitraan “Bersih” yang Kontradiktif
Lucky Hakim juga pernah berkilah bahwa kekayaannya justru menyusut sejak masuk politik. Ia mengaku kekayaannya turun sekitar satu miliar rupiah. Bahkan sebelum menjadi pejabat, ia sempat mengklaim sebagai salah satu pejabat terkaya kedua di Jawa Barat.
Klaim ini tentu menarik, karena di satu sisi ia membangun citra sebagai sosok yang rela berkorban demi rakyat, tapi di sisi lain masyarakat masih menagih bukti nyata dari kepemimpinannya.
Publik juga tak lupa ketika Lucky liburan ke Jepang tanpa izin resmi. Sebuah catatan kecil, tapi tetap penting, karena etika pejabat daerah selalu berada di bawah kaca pembesar rakyat.
Di sisi lain, ia juga pernah menolak pengadaan mobil dinas baru. Sebuah sikap yang dipromosikan sebagai langkah antikorupsi.
Citra publik memang sering paradoksal: satu sisi dituding rakus, sisi lain dipoles sebagai bersih. Pertanyaannya, yang mana wajah asli?
Politik Transaksi: Ancaman yang Nyata
GRI menyebut “mental transaksi dan korupsi” sebagai musuh utama. Sebuah tudingan yang sesungguhnya tidak asing di telinga masyarakat Indramayu.
Politik lokal kerap berubah jadi pasar. Jabatan diperlakukan seperti komoditas. Kursi kekuasaan seperti barang dagangan. Birokrasi pun akhirnya jadi korban, bukan ruang pelayanan, tapi arena bagi-bagi keuntungan.
Rakyat akhirnya hanya menjadi penonton. Mereka menonton drama kekuasaan sambil tetap harus berjuang menghadapi harga pupuk yang mahal, pendidikan yang sulit dijangkau, dan akses kesehatan yang terbatas.
Momentum 7 Oktober: Gerakan Moral atau Gerakan Politik?
Tanggal 7 Oktober kini digadang sebagai momentum perlawanan rakyat Indramayu. GRI mengajak semua pihak turun ke jalan. Mereka berteriak soal moralitas, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Namun sejarah mengajarkan, demo besar-besaran seringkali berakhir sebagai simbol sesaat. Setelah massa bubar, jalanan kembali sepi, dan kekuasaan tetap berjalan seperti biasa.
Yang perlu kita tanyakan: apakah gerakan ini benar-benar akar rumput, atau hanya elit politik yang menggunakan rakyat sebagai pengeras suara? Jika gerakan ini hanya berakhir pada pergantian orang tanpa perubahan sistem, maka rakyat akan kembali jadi korban. Lagi-lagi dikhianati oleh mereka yang mengaku membawa perubahan.
Indramayu di Persimpangan Jalan
Indramayu hari ini ada di persimpangan jalan. Antara mempertahankan status quo atau membuka jalan baru. Antara percaya pada perlawanan rakyat atau tetap terjebak dalam lingkaran politik lama.
Kemarahan publik bisa jadi energi perubahan, tapi bisa juga hanya jadi bahan bakar konflik tanpa arah.
Kita semua tahu, Indramayu bukan hanya soal siapa pemimpinnya. Indramayu adalah soal nasib jutaan rakyat yang menggantungkan hidup pada tanah, laut, dan kerja keras sehari-hari.
Jika perlawanan ini benar-benar lahir dari hati rakyat, maka ia harus dijaga agar tidak dibajak kepentingan politik sempit. Jika gerakan ini sungguh ingin menyelamatkan demokrasi, maka ia harus berani melawan bukan hanya individu, tapi juga sistem yang korup.
Akhir Kata: Cermin Demokrasi
Pada akhirnya, demokrasi adalah cermin. Pemimpin yang lahir adalah refleksi dari rakyat yang memilih. Jika pemimpin gagal, rakyat pun tak bisa lepas dari tanggung jawab.
Indramayu kini diminta bercermin. Bukan hanya bercermin pada sosok Lucky Hakim, tapi juga pada dirinya sendiri.
Apakah kita benar-benar memilih dengan hati nurani, atau hanya terbuai pencitraan? Apakah kita berani melawan korupsi, atau hanya berteriak ketika kepentingan kita tak terpenuhi?
Karena sejatinya, demokrasi bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Demokrasi adalah soal keberanian kita semua untuk menjaga agar kursi itu tidak dikotori oleh kepentingan sesaat.
Dan demokrasi akan selalu bertanya: “Setelah memilih, apakah kita berani mengawal? Setelah kecewa, apakah kita berani berubah?”.
Penulis : TRI KARSOHADI



