BWCF ke 14 Resmi Dibuka, Menyulam Kembali Kisah Peradaban Nusantara dari Jejak Nisan Tua -->

BWCF ke 14 Resmi Dibuka, Menyulam Kembali Kisah Peradaban Nusantara dari Jejak Nisan Tua

Fokus Kabar
Saturday, November 22, 2025 Last Updated 2025-11-22T17:15:32Z

Fokus Kabar (Cirebon) -
Suasana malam di Keraton Kacirebonan terasa seperti membuka kitab lama yang kembali bernapas. Angin yang menyentuh halaman keraton seolah membawa pulang jejak-jejak ingatan dari berbagai penjuru Nusantara. Dari Sanggar Sekar Pandan, para penari cucuk lampah melangkah perlahan—seperti para pembawa kabar yang mengantar para tamu menuju pintu festival, mengantar pada suasana sakral di pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) ke-14, Kamis (20/11/2025).

Di bawah cahaya lampu yang temaram, Sultan Kacirebonan, PR Abdul Gani Natadiningrat SE memberikan sambutan hangat. Kata-katanya mengalir lembut, mengingatkan bahwa Cirebon tak hanya sekadar ruang geografis, tetapi juga simpul sejarah yang hidup di antara tiga keraton, manuskrip kuno, dan tradisi spiritual yang tak pernah padam. Kehadiran perwakilan pemerintah Kota Cirebon, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya, mempertegas bahwa festival ini dipayungi semangat bersama untuk menjaga warisan budaya kota udang ini.

Tahun ini, BWCF bekerja sama dengan Majelis Seni dan Tradisi Cirebon (Mesti), Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) yang didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. Tema yang diangkat yakni "Estetika Nisan-nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan Tarekat Syattariyah di Cirebon" menggugah ingatan kolektif tentang persilangan sejarah, seni, dan spiritualitas yang membentuk wajah kebudayaan kita.

Prof Dr Oman Fathurahman, selaku penasehat BWCF, menegaskan pentingnya kajian nisan tua Nusantara serta manuskrip Syattariyah bagi pemetaan warisan intelektual. 


"Kepercayaan ilahi dirajut dan dibingkai. Jejaring Syattariyah menghubungkan memori kolektif yang terputus, juga memberi petunjuk jejak peradaban yang terhapus.” Ucapannya bergema seperti doa yang dipanjatkan dari masa silam menuju masa kini.

Ia melanjutkan, mengingatkan bahwa manuskrip dan batu nisan yang berserak di berbagai wilayah bukan sekadar benda warisan, tetapi penanda bagi kita untuk kembali menapaki jalur yang dulu terhubung begitu kuat. 

“Manuskrip dan batu nisan melimpah berserak; keduanya petunjuk untuk menapaki jejak, menghidupkan pengetahuan, dan menggali pesan-pesan ketuhanan. BWCF 2025 membangkitkan ingatan bahwa Cirebon, Aceh, Minangkabau, Jawa, dan negeri-negeri semenanjung pernah saling terhubung. Mari kita jaga bersama,” ujarnya.

Dalam suasana yang semakin intim, panggung kemudian dihidupkan oleh Tari Topeng Kelana yang dibawakan Tomi Uli dari Sanggar Tari Sekarpandan Kacirebonan. Gerakannya memadukan energi dan keheningan, seakan menjadi jembatan antara rupa seni dan ruh kebudayaan yang dipertemukan malam itu.

Sesi selanjutnya menandai peluncuran buku Katalog Atribut Nisan Islam Aceh Volume III. Hadir sebagai pembicara, I Made Dharma Suteja SS MSi, serta Dr. Ghilman Assilmi MHum, dan dimoderatori oleh Irsyad Leihitu MHum. Diskusi mengalir dari metode dokumentasi nisan, jaringan peradaban maritim, hingga bagaimana seni batu nisan menjadi rekam jejak identitas Islam Nusantara dari masa ke masa.

Kurator BWCF, Seno Joko Suyono, menegaskan bahwa nisan-nisan Islam di Indonesia adalah pintu untuk memahami perjalanan spiritual dan budaya masyarakat. “Nisan bukan hanya penanda makam,” ujarnya. 

Ia menambahkan bahwa gaya nisan dari Kesultanan Aceh masa Iskandar Muda bahkan menyebar hingga Asia Tenggara, menjadi bukti jejaring maritim yang dahulu begitu kuat. "Menyimpan simbol-simbol religius, nilai filosofis, serta ornamen estetika yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan," ujarnya.


Seno juga memaparkan alasan dipilihnya Cirebon sebagai tuan rumah. Dengan warisan arkeologi Islam yang melimpah, keraton-keratonnya, serta manuskrip Syattariyah yang hidup di pesantren maupun lingkungan keraton, Cirebon merupakan simpul penting dalam sejarah politik dan spiritual Islam abad ke-15 dan 16. 

“Cirebon adalah akar bagi lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di Jawa,” katanya.

Puncak malam pembukaan hadir lewat Pidato Kebudayaan Dr. Helene Njoto, sejarawan Prancis–Indonesia, yang memberikan penghormatan kepada Uka Tjandrasasmita melalui telaahnya atas situs Sendang Duwur. Ia membacakan kembali bab-bab sejarah yang tersimpan pada mimbar kayu, batu nisan, gapura, dan ukiran-ukiran yang pernah disentuh Uka dalam penelitiannya.

Dari awal hingga akhir, malam itu menghadirkan bukan hanya sebuah pembukaan festival, tetapi sebuah perjalanan spiritual dan intelektual. Seperti air laut yang terus kembali ke pantai Cirebon, jejak-jejak masa lalu menemukan jalannya pulang. BWCF ke-14 membuka ruang untuk mengingat, merawat, dan menuliskan kembali warisan Nusantara—agar tidak kehilangan arah dalam arus zaman yang terus berubah. 

( Als )
Komentar

Tampilkan

Terkini