Fokus Kabar (Indramayu) - Kebebasan pers kembali diuji di ruang publik. Jumat pagi, 18 Desember 2025, seorang jurnalis mengalami intimidasi saat meliput proyek rehabilitasi jalan hotmix di kawasan Jembatan Alun-Alun Indramayu.
Peristiwa itu bermula ketika Moh Guntur, wartawan Metro Online, mengambil gambar dan video proses pengaspalan. Seorang pria berkumis lebat, berpenampilan bak preman, tiba-tiba menghampirinya. Dengan wajah sinis dan nada mengancam, pria itu melontarkan larangan keras, bahkan mengancam akan membanting telepon genggam sang wartawan.
"Bapak disini sebagai apa?" tanya Guntur, berusaha memastikan kapasitas orang yang mengintervensi kerja jurnalistiknya.
Alih-alih menjawab, pria tersebut justru meninggikan suara. "Tidak usah tanya sebagai apa. Kamu maksudnya apa foto-foto? Nanti saya banting HP-nya," katanya, tanpa menunjukkan identitas atau kewenangan apa pun.
Aksi intimidatif itu terekam video dan beredar luas di kalangan jurnalis melalui status WhatsApp. Rekaman tersebut memantik kemarahan sekaligus keprihatinan, karena memperlihatkan bagaimana peliputan proyek publik diperlakukan seolah tindakan terlarang.
Dugaan pun mengarah pada keterkaitan pria tersebut dengan kontraktor pelaksana proyek, CV Tiga Utama. Jika dugaan itu benar, insiden ini mencerminkan praktik kuasa di lapangan proyek yang dibiayai uang rakyat yang kerap alergi terhadap pengawasan.
Intimidasi tak berhenti di situ. Rochmanto, wartawan Media Rakyat Nusantara, mengaku mendapat respons tidak kooperatif saat menanyakan transparansi proyek yang bersumber dari APBD Kabupaten Indramayu. Ia mempertanyakan keberadaan papan informasi proyek serta spesifikasi teknis pekerjaan, mulai dari panjang, lebar, hingga ketebalan lapisan hotmix.
Pertanyaan mendasar itu justru dijawab singkat dan menghindar.
"Papan informasi hilang. Kalau soal ketebalan, tanya saja ke pengawas," ujar kontraktor yang disebut berinisial F, dengan nada dingin.
Sikap tersebut mempertebal kecurigaan publik. Papan informasi proyek bukan aksesori, melainkan kewajiban hukum sebagai bentuk transparansi penggunaan anggaran negara.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Indramayu belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan intimidasi terhadap jurnalis maupun sikap kontraktor di lapangan.
Padahal, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas melindungi kerja jurnalistik. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Peristiwa di Alun-Alun Indramayu menjadi peringatan keras: intimidasi terhadap pers masih berlangsung di ruang publik. Jika dibiarkan, premanisme proyek akan terus tumbuh, sementara transparansi dan demokrasi perlahan tercekik.( Tri KH)



