Fokus Kabar (Cirebon) - Gerakan Rakyat Cirebon (GRC) menyatakan kesiapannya untuk melaporkan dugaan berita hoaks yang dinilai disebarkan oleh Pemerintah Kota Cirebon terkait informasi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Langkah tegas ini diambil sebagai bentuk kepedulian atas keresahan masyarakat yang merasa terbebani akibat kebijakan tersebut.
Hal ini dinilai memberatkan dan menyakiti hati rakyat. Selain itu, GRC 11 September juga akan menggugat Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kota Cirebon karena menanggapi kenaikan PBB 1000% sebagai berita hoax. Padahal, kenaikan PBB tersebut nyata adanya, hal ini terbukti di Kelurahan Larangan Kecamatan Harjamukti yang semula membayar PBB sekitar Rp 700 ribuan kini harus membayar sekitar Rp 8 jutaan.
Reno Sukriano mengatakan, tindakan ini bukan hanya melukai perasaan warga, tetapi juga mencederai prinsip etika, moral, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Diketahui, selebaran digital yang bertuliskan 'Hoax Kenaikan 1000%, Ada Disiniformasi yang Beredar Terkait Penyesuaian Nilai Penetapan Pembayaran PBB P2 Kota Cirebon Naik Sampai 1000%'. Flyer digital ini tersebar dari grup ke grup WA lainnya. Kepala BPKPD, Mastara, juga terpantau memasang flyer ini.
"Kami memahami bahwa kebijakan fiskal membutuhkan penjelasan teknis. Namun, alih-alih membuka ruang dialog, BPKPD justru memilih cara yang berpotensi memprovokasi dan mengadu domba warga, tanpa pernah mengungkap secara ilmiah dan transparan dasar penentuan NJOP dan kenaikan PBB tersebut," ujar Reno Sukriano dari Gerakan Rakyat Cirebon 11 September.
Ia mengatakan, masyarakat hanya meminta pertimbangan kebijakan agar kenaikan PBB tidak memberatkan dan mencekik keuangan keluarga.
"Sangat tidak pantas jika warga yang memohon pengurangan atau keringanan pajak harus terlebih dahulu 'dinyatakan miskin' dengan surat keterangan dari kelurahan. Secara etika dan moral, hal ini terkesan menjadikan pemerintah seolah memaksa rakyat untuk mengemis demi mendapatkan haknya," katanya.
Menurutnya, BPKPD wajib menguraikan secara terbuka metode perhitungan NJOP yang lazim dan wajar, dan bukan hanya mengacu pada perbandingan harga jual rata-rata historis yang tidak berkeadilan
"Apalagi untuk tanah yang tidak diperjualbelikan, seperti hasil pewarisan, hibah, atau tukar menukar. Bangunan yang telah habis umur ekonomisnya (lebih dari 5 tahun) tidak seharusnya dinilai setara dengan bangunan baru. Hal ini bertentangan dengan prinsip akuntansi dan penilaian properti berbasis best use, yang menggabungkan nilai wajar tanah dengan penyusutan bangunan secara objektif.
Wilayah komersial dan non-komersial tidak bisa disamaratakan meski berada di zonasi administrasi yang sama. Harus ada identifikasi valid yang mempertimbangkan situasi sosial, kemampuan ekonomi masyarakat, dan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut," tegasnya.
Menurutnya, penyebaran selebaran 'hoax' tanpa klarifikasi terbuka adalah bentuk arogansi dan pengabaian semangat good governance.
"Padahal, kepala daerah dan Gubernur telah menunjukkan sikap bijak dengan merespons keluhan warga dan membuka ruang revisi kebijakan, ini berdasarkan Chanel YouTube Gubernur Jawa Barat," tutur Adji Priatna dari Gerakan Rakyat Cirebon 11 September.
Ia juga mengatakan, tindakan oknum ASN BPKPD yang membuat atau menyebar status/flyer 'hoax' dapat melanggar UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, Pasal 3 huruf b dan j di mana ASN wajib menjaga martabat, netralitas, dan tidak berpihak.Pelanggaran dapat dikenakan sanksi sesuai PP No. 94 Tahun 2021.
Juga dapat melanggar PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS
Pasal 5 huruf a–c di mana berisi larangan menyalahgunakan wewenang, merugikan pihak lain, atau menyebarkan informasi menyesatkan.
"Sanksinya yaitu hukuman disiplin sedang–berat, termasuk penurunan pangkat, pembebasan jabatan, hingga pemberhentian," katanya.
(herwin)