Fokus Kabar (Cirebon) - Komisi VIII DPR RI menilai perlu adanya perbaikan mendasar dalam sistem pengelolaan keuangan haji agar lebih transparan, berkeadilan, dan sesuai dengan prinsip syariah. Hal itu disampaikan salah satu anggota Komisi VIII DPR RI dalam forum diskusi bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan insan media, Kamis (16/10/25)
Anggota DPR Selly Andriani Gantina menjelaskan, perubahan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji menjadi penting seiring dengan berdirinya Kementerian Haji dan Umrah yang baru. "Dengan kementerian baru dan perubahan undang-undang, kita menganggap harus ada asas keadilan dari Sabang sampai Merauke. Tidak boleh lagi ada perbedaan," ujarnya.
Ia menyoroti pengelolaan dana haji oleh BPKH yang mencapai lebih dari Rp170 triliun setiap tahun. Nilai manfaat dari pengelolaan dana tersebut, lanjutnya, mencapai sekitar Rp12 triliun, namun pembagiannya dinilai belum sepenuhnya merata.
"Dari Rp12 triliun itu, hanya sekitar Rp4 triliun dimasukkan ke rekening virtual account untuk 5,4 juta jamaah, sementara sekitar Rp8 triliun dipergunakan untuk jamaah yang berangkat dan operasional lainnya," ungkapnya.
Bahkan, menurutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyoroti penggunaan nilai manfaat tersebut karena dianggap belum sesuai dengan prinsip syariah. "MUI menyampaikan bahwa nilai manfaat yang digunakan jamaah haji aktif dianggap haram, karena di dalamnya ada hak jamaah yang masih dalam daftar tunggu," jelasnya.
Selain aspek keuangan, Komisi VIII DPR juga mengusulkan penyeragaman masa tunggu (waiting list) haji di seluruh daerah menjadi 26 tahun agar lebih adil. Namun, kebijakan tersebut berdampak pada perubahan kuota di beberapa wilayah, termasuk Jawa Barat yang kehilangan sekitar 9.000 kuota dari total 38.000.
Politisi itu juga menegaskan pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang biaya penyelenggaraan ibadah haji. Ia menyebut, masih banyak calon jamaah yang salah persepsi mengenai setoran awal haji.
"Banyak yang mengira uang Rp25 juta itu sudah biaya penuh haji, padahal itu baru uang pendaftaran. Total biaya penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 mencapai sekitar Rp89 juta per jamaah," katanya.
Angka tersebut, lanjutnya, lebih rendah dibanding tahun 2024 yang mencapai Rp94 juta. Penurunan biaya ini diharapkan terus berlanjut seiring adanya efisiensi dan transparansi di bawah kementerian baru.
Namun, ia menyoroti masih adanya kebocoran dalam penyelenggaraan haji, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu komponen terbesar adalah biaya penerbangan, yang mencapai sekitar Rp35 juta per jamaah.
"Komponen pesawat ini yang selalu jadi perdebatan panjang dengan Kementerian Agama. Harusnya bisa ditekan dengan kerja sama logistik atau subsidi dari pihak terkait seperti Pertamina, agar beban jamaah berkurang," tegasnya.
Ia juga menyinggung persoalan pelayanan jamaah di Tanah Suci, khususnya pasca puncak haji di Arafah, di mana banyak jamaah tidak mendapatkan konsumsi. "Itu seharusnya menjadi tanggung jawab BPKH. Jangan sampai terjadi lagi karena ini menyangkut keselamatan dan kenyamanan jamaah," ujarnya.
Sebagai penutup, ia menekankan bahwa DPR melalui fungsi pengawasan akan memastikan pengelolaan dana haji dilakukan secara akuntabel, aman, dan bermanfaat bagi seluruh jamaah.
"Uang jamaah itu sangat sensitif. Kita ingin memastikan pengelolaan keuangan haji ini transparan dan membawa keadilan bagi semua," pungkasnya.
(herwin)