(Mengenang arkeolog Uka Tjandrasasmita)
Fokus Kabar (Cirebon) - Nisan-nisan di Nusantara merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam arkeologi Islam di Indonesia, karena selain sebagai tanda tempat peristirahatan terakhir, nisan-nisan tersebut juga menyimpan simbol-simbol religius dan filosofis serta ornamen-ornamen estetis yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di Nusantara, budaya lokal juga mempengaruhi ornamen- ornamen nisan. Dan gaya khas sebuah nisan lokal bisa menyebar melebihi batas wilayahnya. Tipologi nisan-nisan dari zaman Iskandar Muda Kesultanan Aceh misalnya memiliki pengaruh signifikan terhadap nisan-nisan di Asia Tenggara. Bahkan nisan-nisan itu menjadi penanda status sosia dan di masa kini menjadi data arkeologis akan adanya jaringan maritim yang kuat dari Nusantara ke Asia Tenggara.
BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) ke 14 tahun 2025 ini bekerja sama dengan Majelis Seni dan Tradisi Cirebon (Mesti) dan Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwiasata Kota Cirebon berusaha menampilkan tema arkeologi nisan-nisan di Nusantara. April lalu di Museum Nasional Jakarta, Kementrian Kebudayaan mengadakan pameran besar sejarah Islam Nusantara bertema: Misykat, Cahaya Peradaban Islam Nusantara. Di dalam pameran itu kita bisa menyaksikan abklats (cetakan kopi) nisan-nisan kuno Aceh. Museum Nasional memiliki lebih dari 2000 abklats nisan-nisan kuno Aceh yang simbol-simbol dan ornamen-ornamen serta epitafnya bermakna filosofis tinggi yang semuanya belum dikaji secara memadai.
Meneruskan semangat ini, BWCF di Kraton Kacirebonan akan mengundang banyak ahli untuk membahas pemaknaan ketuhanan yang terdapat pada simbol- simbol dan aksara berbagai makam tua Nusantara. Diharapkan para ahli ini dapat memberikan publik pemahaman mengenai betapa pada nisan pun terdapat ornamen estetika dan aspek-aspek puitis ajaran-ajaran ketuhanan. Dalam sebuah nisan pun juga dapat dilacak hubungan interkultural nusantara dengan peradaban luar. BWCF akan menghadirkan misalnya Prof Dr Daniel Perret, arkeolog asal Perancis yang dikenal meneliti nisan-nisan kuno Aceh dan pengaruhnya di pernisanan di Malaysia. BWCF juga akan menghadirkan Bastian Zulyeno Phd, ilmuawan dari Universitas Indonesia yang lama studi di Iran dan menguasai Bahasa Iran dengan baik. Beliau dikenal meneliti epitaph nisan-nisan Nusantara yang memiliki larik-larik berasal dari puisi-puisi Ketuhanan Iran.
Acara BWCF tahun ini sepenuhnya akan berlangsung di Kraton Kacirebonan, kota Cirebon. Dipilihnya Cirebon sebagai tempat penyelenggaraan BWCF ke 14 adalah karena Cirebon selain memiliki tinggalan arkeologis masa islam yang cukup signifikan, Cirebon juga memiliki sejarah panjang dalam syiar islam di Pulau Jawa. Cirebon memainkan peran vital dalam politik dan kekuasaan bergaya islam di abad ke-15 dan 16. Pengaruhnya begitu penting, sehingga menjadi akar kesultanan- kesultanan Islam di Pulau Jawa, salah satunya adalah Kesultanan Banten. Sebagai kota pusaka yang bersejarah, Cirebon memiliki warisan cagar budaya yang cukup berlimpah, mulai dari kompleks kraton (Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan), masjid kuno, kompleks taman, dan makam-makam islam kunonya. Makam-makam tersebut hingga kini masih menjadi destinasi yang cukup digemari sebagai wisata religi.
Cirebon juga dikenal memiliki banyak manuskrip-manuskrip kuno. Manuskrip- manuskrip yang berkaitan dengan ajaran ketuhanan para wali. Di antaranya Adalah manuskrip-manuskrip yang bertautan dengan ajaran ketuhanan Tareqat Syattariyah seperti konsep Martabat Tujuh. Syattariyah adalah tarekat (ordo tasawuf) yang berkembang di India pada abad ke-15, lalu menyebar ke Asia Tenggara pada abad ke-16/17. Nama Syattariyah berasal dari kata Arab yang berarti “cepat” atau “seketika”.Maknanya merujuk pada jalan “cepat” untuk mencapai makrifat kepada Allah.
Berkaitan dengan Syattariyah, Cirebon menduduki posisi unik. Yaitu selain ajaran-ajarannya terhubung dengan pesantren-pesantren, tareqat ini juga terkoneksi dengan kraton-kraton yang ada di Cirebon antara lain Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman dan Kraton Kacirebonan yang menjadi tempat festival BWCF berlangsung. Baik Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman dan Kraton Kacirebonan memiliki sejumlah koleksi manuskrip-manuskrip tua yang berkaitan dengan pemikiran Syattariyah. Namun belum banyak peneliti yang melakukan studi terhadap manuskrip-manuskrip Syattariyah di kraton-kraton Cirebon.
Untuk itulah tema BWCF kali ini selain membahas nisan-nisan nusantara juga akan mengangkat soal dunia manuskrip Tarekat Syattariyah di Cirebon. Terkhusus akan dibahas bagaimana gerakan Syattariyah juga di masa lalu memiliki kontribusi untuk mengilhami perlawanan-perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Prof Dr Peter Carey, misalnya dalam kesempatan BWCF ini akan mengemukakan bagaimana Diponegoro juga terpengaruh oleh gerakan Syattariyah, sehingga ia berani menghadapi Belanda.
Dr Samah Sabawi dan Malam Puisi Cirebon-Gaza
Sebagaimana festival-festival BWCF sebelumnya selain acara utama simposium dan lecture-lecture, maka terdapat progam berkaitan dengan sastra dan seni pertunjukan. Di Cirebon, BWCF akan menghadirkan para penyair terkemuka Indonesia yang sering mengolah tema-tema spiritual Islam dalam sajak-sajaknya antara lain Zawawi Imron, Acep Zamzam Noer, Hikmat Gumelar dan Nenden Lilis – untuk membacakan puisinya dalam Malam Puisi untuk Palestina. Diketahui Hikmat Gumelar, penyair asal Majalengka baru saja mendapat penghargaan bergengsi Palestine World Prize for Literature. Dalam malam puisi tersebut, BWCF akan mengundang seorang penyair diaspora Palestina. Penyair perempuan dan penulis naskah drama keturunan Palestina Dr Samah Sabawi bersedia hadir untuk membacakan sajak-sajaknya.
Kehadiran Dr. Samah Sabawi menjadi sorotan istimewa dalam BWCF tahun ini. Lahir di Gaza dan besar di pengasingan, Samah kini tinggal di Melbourne dan dikenal luas sebagai penyair, dramawan, dan aktivis perdamaian. Karyanya melintasi batas geografi dan bahasa, menyuarakan luka, cinta, dan keteguhan manusia Palestina dalam menghadapi penindasan. Samah adalah penulis naskah drama terkenal seperti Tales of a City by the Sea, Them, dan I Remember My Name
— karya yang telah dipentaskan di berbagai negara dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Buku terbarunya, Cactus Pear for My Beloved (Penguin Australia, 2024), menelusuri perjalanan keluarganya selama satu abad, masuk dalam daftar pendek Stella Prize 2025 serta Douglas Stewart Prize di bawah NSW Premier’s Literary Awards.
Sejumlah penghargaan bergengsi lain yang pernah diterima Samah antara lain Australian Writers’ Guild Award (2021) dan Green Room Award (2020), serta dikenal sebagai salah satu suara perempuan Palestina yang paling berpengaruh di panggung sastra dunia. Kehadiran Samah Sabawi di BWCF 2025 memiliki makna simbolik yang kuat: ia membawa suara perlawanan dan spiritualitas ke dalam ruang budaya Indonesia, menjembatani pengalaman Palestina dan Islam Nusantara dalam satu kesadaran kemanusiaan. Di tengah dunia yang retak oleh perang dan krisis, puisinya mengingatkan kita bahwa ziarah terbesar manusia adalah mencari kedamaian dalam hati dan dunia.
Festval kali ini merupakan tribute terhadap almarhum arkeolog UI yang di masa hidupnya sangat menekuni penelitian mengenai nisan-nisan nusantara yaitu Uka Tjandrasasmita (1934-2010). Buku almarhum: Arkeologi Islam Nusantara merupakan buku wajib bagi mereka yang melakukan studi terhadap arkeologi Islam Nusantara. Semasa hidupnya, Uka banyak melakukan penelitian di Banten lama (Kesultanan Banten), Cirebon (Kasultanan dan tradisi Islam pesisir), Trowulan (hubungan Majapahit dengan awal Islam),· Giri Kedaton dan Gresik (Sunan Giri, Sunan Maulana Malik Ibrahim), Gampong Pande – Aceh (nisan dan jejak Islam awal). Uka bisa disebut adalah seorang arkeolog yang memperjuangkan agar peninggalan Kesultanan Islam — nisan, masjid tua, kota pelabuhan — diperlakukan sebagai situs arkeologi yang bernilai akademis. Dialah yang pertama kali memetakan arkeologi Islam di Indonesia secara sistematis. Beliau dikenal sebagai penggagas bidang Arkeologi Islam di Indonesia, yang sebelumnya belum diperlakukan sebagai bidang studi tersendiri. Beliaulah yang menunjukkan bahwa bentuk dan ornamentasi nisan dapat menjadi indikator jalur penyebaran Islam apakah itu dari Gujarat, Bengal, Cina dan lain-lain.
Berkaitan dengan tribut terhadap Uka Tjandrasasmita ini, secara khusus pada malam opening BWCF 2025 akan dihadirkan Pidato Kebudayaan yang akan membahas salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita. Pidato kebudayaan akan dibawakan oleh Dr Helene Njoto, seorang sejarawan seni dan arsitektur dari Perancis. Judul pidato kebudayaanya Adalah: Tribute untuk Uka Tjandrasasmita Membaca Kembali Sendang Duwur Dan Masjid-Masjid Kuno Nusantara. Sendang Duwur Adalah situs purbakala Islam yang terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan dan Kawedanan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Situs ini juga dikenal dengan nama Masjid Sendang Duwur atau Makam Sunan Sendang. Di situ terdapat masjid kuno dan mimbar, batu nisan keramat, gapura, pendapa dan tiang berukir dan lain-lain. Uka Tjandrasasmita pernah meneliti Sendang Duwur dan pada tahun 1975 tulisannya tentang situs tersebut pernah terbit dalam Bahasa Inggris: Islamic Antiiquity of Sendang Duwur . Dalam pidato kebudayaannya di BWCF, Dr Helen Njoto yang juga melakukan penelitian Situs Sendang Duwur akan membaca ulang penelitian Uka Tjandrasasmita tersebut.
Diharapkan BWCF kali ini menjadi sebuah festival yang dari segi content berbobot dan bisa menjadi referensi bagi para mahasiswa, peneliti, dosen, sastrawan, seniman dan sebagainya.
Nara hubung BWCF:
Seno Joko Suyono, kurator BWCF (081519124920)









