Jerat ITE: Belenggu Jurnalis Menulis Fakta -->

Jerat ITE: Belenggu Jurnalis Menulis Fakta

Fokus Kabar
Friday, September 26, 2025 Last Updated 2025-09-26T00:30:42Z


 Dunia jurnalistik di Indonesia, bagi banyak orang, adalah medan pertempuran sunyi. Di balik kilau berita yang menembus layar kaca, terpampang di halaman depan koran, atau meluncur deras di lini masa media sosial, ada kisah yang jarang terdengar: kisah para jurnalis yang menulis fakta, tapi justru berhadapan dengan jerat hukum. Salah satu jerat itu bernama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai ITE

Sejak disahkan, ITE hadir dengan tujuan mulia menurut pemerintah: menjaga keamanan informasi, menekan penyebaran konten negatif, dan memberi rasa aman bagi masyarakat di ranah digital. Namun, di lapangan, realitasnya berbeda. ITE kerap menjadi pedang bermata dua. Pedang itu tajam, tapi arahnya sering kali mengarah pada jurnalis yang berusaha menunaikan tugas moralnya: menulis fakta, menegakkan transparansi, dan membuka tabir kebijakan publik yang tidak selalu terang benderang.


Bayangkan seorang jurnalis, duduk di meja kecilnya dengan secangkir kopi yang mulai mendingin, menatap layar laptop. Kata demi kata mengetik laporan yang ia peroleh dari wawancara lapangan, dokumen resmi, atau investigasi panjang. Ia menulis dengan cermat, memastikan setiap data diverifikasi, setiap kutipan benar. Namun, satu kata yang dianggap menyinggung pihak tertentu bisa menjadi awal mimpi buruk. Pemberitaan yang seharusnya menjadi pelindung publik, tiba-tiba bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal-pasal ITE yang multi-tafsir itu seperti jebakan tersembunyi; di satu sisi memberi rasa aman bagi masyarakat, di sisi lain membatasi kebebasan pers.


Kasus demi kasus muncul di pengadilan. Jurnalis dilaporkan karena dianggap mencemarkan nama baik lewat berita yang mereka tulis. Bukti yang mereka miliki: rekaman, dokumen, saksi mata. Bukti itu seharusnya menjadi dasar pembuktian kebenaran. Namun, hukum ITE tidak selalu berpihak pada fakta. Sering kali, penafsiran subjektif pihak yang merasa dirugikan menjadi pijakan laporan. Apa yang di mata jurnalis adalah fakta, di mata hukum bisa menjadi “fitnah” atau “penghinaan” yang bisa dipidana.


Fenomena ini menimbulkan efek chilling effect—dampak yang menakutkan bagi kebebasan pers. Banyak jurnalis mulai menahan diri menulis laporan kritis. Mereka mempertanyakan setiap kata, memikirkan risiko hukum sebelum menekan tombol “publish.” Akibatnya, masyarakat bisa kehilangan akses pada informasi yang objektif, transparan, dan independen. Ironisnya, di negeri yang mengklaim dirinya demokratis, fakta justru menjadi terbelenggu.


Saya teringat wawancara dengan seorang jurnalis senior di Jakarta. Dia bercerita tentang sebuah kasus korupsi di pemerintah daerah yang berhasil ia ungkap. Dokumen dan bukti foto sudah lengkap, narasumber siap dihadirkan. Namun, sebelum berita itu diterbitkan, ia menerima panggilan dari aparat hukum. Laporan telah masuk dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE. "Saya merasa seperti dihantui sebelum berperang," katanya dengan suara yang serak tapi tegas. Ia akhirnya harus menghadapi persidangan panjang, biaya hukum yang tinggi, dan tekanan psikologis yang berat.


Jalur hukum, menurutnya, bukan lagi sekadar alat penegakan keadilan. Bagi sebagian pihak, ITE bisa menjadi alat intimidasi, cara untuk membungkam suara kritis. Ketakutan akan pasal-pasal yang multitafsir membuat jurnalis menulis dengan tangan terikat. Fakta yang seharusnya terang benderang, kini harus disaring, diolah, dan kadang diubah agar aman dari risiko pidana. Padahal, tujuan menulis fakta bukanlah untuk menyenangkan pihak tertentu, tapi untuk menegakkan kebenaran dan melindungi publik.

Belenggu ini tidak hanya menimpa jurnalis individu. Redaksi, media independen, bahkan lembaga pers mulai menginternalisasi ketakutan itu. Pertemuan editorial dipenuhi diskusi: apakah laporan ini aman? Apakah kata-kata ini bisa ditafsirkan sebagai penghinaan? Seorang editor menuturkan, "Kadang kami memilih untuk tidak menulis hal-hal yang perlu ditulis. Ini bukan sensor dari pemerintah, tapi sensor diri sendiri karena takut jerat hukum." Sensor seperti ini menakutkan—bukan karena ada yang menekan dari luar, tapi karena jurnalis takut menghancurkan dirinya sendiri melalui fakta yang ia tulis.


Masalah ini semakin kompleks ketika media sosial menjadi arena pertempuran. Informasi tersebar begitu cepat, viral dalam hitungan jam. Satu postingan, satu artikel yang dianggap menyinggung pihak tertentu bisa berakhir di laporan polisi. Dalam kondisi seperti ini, jurnalis harus berpacu dengan waktu, memastikan data valid, sambil tetap sadar bahwa kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat pidana.


Namun, jerat ITE bukan hanya soal hukum. Ini soal prinsip moral: apakah kebenaran fakta harus ditekan demi keamanan hukum? Apakah masyarakat berhak mengetahui apa yang seharusnya diketahui? Dalam tumpukan dokumen, wawancara lapangan, dan data yang diverifikasi, jurnalis menemukan dilema etis: melaporkan fakta atau melindungi diri dari risiko hukum.

Ada pula kisah heroik di tengah belenggu ini. Jurnalis yang tetap menulis, meski tahu risiko menunggu. Mereka membela fakta dengan keberanian yang hampir nyaris tidak manusiawi. Mereka menulis dengan prinsip bahwa masyarakat berhak tahu, kebenaran harus diungkap, dan transparansi tidak bisa dikalahkan oleh ketakutan. Setiap berita yang terbit bukan sekadar artikel, tapi bukti keberanian menentang sistem yang tidak selalu berpihak.


Seiring waktu, banyak jurnalis mulai menyerukan reformasi. Mereka menuntut kejelasan hukum, perlindungan bagi pekerja pers, dan batasan penggunaan UU ITE agar tidak disalahgunakan. Suara-suara ini bukan seruan idealisme kosong. Ini seruan untuk menyelamatkan demokrasi, agar pers tetap menjadi pilar utama, bukan korban sistem hukum yang multitafsir.


Di tengah semua ini, kita—masyarakat—harus menyadari bahwa kebebasan pers adalah hak kita juga. Fakta yang disajikan jurnalis adalah cermin bagi kita semua. Jika cermin itu dipatahkan atau dibelenggu, kita yang kehilangan kemampuan melihat kebenaran. Jerat ITE yang membelenggu jurnalis bukan hanya masalah pekerja pers; ini masalah kita bersama, masalah demokrasi, masalah transparansi, masalah kebenaran itu sendiri.

Jadi, ketika kita membaca berita, mari kita ingat: di balik kata-kata itu, ada jurnalis yang berjuang menyeimbangkan fakta dengan risiko hukum. Ada keberanian yang terkadang tersembunyi di antara paragraf, di antara kutipan, di antara dokumen yang mereka teliti. Dan di sanalah, di balik setiap laporan, kita bisa melihat wajah demokrasi yang sesungguhnya: rapuh, tapi penuh harapan jika kita peduli untuk menjaganya.


Maka, jerat ITE bukan sekadar undang-undang. Ia adalah simbol perjuangan jurnalis menghadapi belenggu yang tak terlihat, perjuangan menulis fakta di tengah bayangan ancaman, perjuangan mempertahankan demokrasi dari ruang digital yang sering lebih gelap daripada terang. Jurnalis menulis bukan untuk menakut-nakuti, bukan untuk menyudutkan, tapi untuk menegakkan kebenaran yang kadang pahit, kadang menyakitkan, tapi selalu penting bagi masyarakat yang berhak tahu.


Di era digital ini, ketika setiap informasi dapat viral dalam sekejap, perjuangan menulis fakta menjadi semakin vital. Dan kita semua, pembaca, masyarakat, penegak hukum harus memahami bahwa kebebasan pers bukan hadiah, tapi hak yang harus dilindungi. Tanpa perlindungan itu, fakta bisa hilang, kebenaran bisa terbelenggu, dan jurnalis, mereka yang menulis untuk kita, akan terus terjerat, meski hanya karena menjalankan tugas moral mereka: menulis fakta.


Oleh: Tri Karsohadi


Tentang Penulis


Tri Karsohadi adalah seorang wartawan yang memulai kariernya sejak usia 18 tahun. Berpengalaman luas dalam jurnalistik investigatif, ia menulis berbagai karya yang menyoroti isu-isu sensitif, termasuk kebebasan pers, transparansi, dan hak publik untuk mengetahui fakta. Gaya penulisannya memadukan ketelitian fakta dengan narasi humanis, menghadirkan laporan yang tidak hanya informatif, tetapi juga memberi konteks emosional yang mendalam.

Komentar

Tampilkan

Terkini